PROPOSAL
NILAI –
NILAI KEISLAMAN TAYANGAN AZAN MAGRIB
(Semiotika
dalam Tayangan Azan Magrib pada Televisi Lokal
Duta
Tv Banjarmasin)
Untuk Memenuhi Mata Kuliah
Metodelogi Penelitian Komunikasi
MPB -
502
OLEH :
NAMA : MUHAMMAD GHALIH
NIM : D1C110038
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARMASIN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
BANJARMASIN
2013
DAFTAR
ISI
DAFTAR ISI........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah..........................................................
1
1.2 Perumusan Masalah................................................................. .... 4
1.3 Tujuan Penelitian..................................................................... .... 4
1.4 Manfaat Penelitian.................................................................. .... 5
1.4.1 Manfaat
Praktis ......................................................... .... 5
1.4.2 Manfaat Akademis ................................................... .... 5
BAB II TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teoritis...................................................................... .... 6
2.1.1 Semiotika................................................................... .... 6
2.1.2 Kontribusi
Semiotika Terhadap Studi Ilmu-Ilmu
Agama........................................................................ .... 10
2.1.3 Azan
Magrib.............................................................. .... 13
2.2 Kerangka Pemikiran................................................................ .... 15
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan
Penelitian............................................................. .... 16
3.2 Tipe
Penelitian......................................................................... .... 16
3.3 Lokasi
Penelitian..................................................................... .... 16
3.4 Teknik Pengumpulan
Data...................................................... .... 17
3.4.1 Pengamatan Langsung
(Observasi) ........................... .... 17
3.4.2 Wawancara ............................................................... .... 17
3.4.3 Dokumentasi ............................................................. .... 18
3.5 Teknik Analisa Data ............................................................... .... 18
3.5.1 Reduksi Data ............................................................ .... 18
3.5.2 Penyajian Data .......................................................... .... 18
3.5.3 Verifikasi .................................................................. .... 18
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
1.1
Latar Belakang
Selama umat Islam masih ada dan bangunan masjid
masih tegak, azan akan tetap berkumandang. Akan tetapi, prediksi logika
tersebut bukanlah jaminan. Sebab, sekarang kita hidup dalam zaman yang
“kedaulatan tertinggi” berada di tangan teknologi informatika (TI). Andai saja Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbih
tidak pernah bermimpi ihwal seorang pria yang mengitarinya seraya
mengumandangkan takbir hingga tahlil yang kemudian hari diteguhkan Rasulullah
sebagai lantunan azan, bisa jadi perdebatan mengenai cara memberitahukan tibanya
waktu shalat lima waktu masih menyisakan persoalan. Sebab, sebelum Rasulullah
membenarkan mimpi itu sebagai bisikan Allah, kaum muslimin bersilang pendapat
terhadap penanda tibanya waktu shalat. Hampir saja mereka terperosok pada
identitas umat epigonistik, menyalin tradisi penanda waktu ibadah agama lain.
Membunyikan bel meniru tradisi Nasrani atau meniup terompet seperti adat
Yahudi. Beruntung, bisikan Allah menghampiri Abdulah bin Zaid bin Abdi Rabbih
hingga tercetuslah azan yang pertama kali dikumandangkan oleh sahabat Billal
bin Rabah.
Pada masa itu, azan menemukan momentum sebagai
penyeru dengan “kekuatan supranatural” yang sangat dahsyat. Ketika azan
berkumandang, kaum muslimin bergegas meninggalkan seluruh aktivitas duniawi dan
segera menuju masjid untuk menunaikan shalat berjamaah. Dalam konteks demikian,
azan adalah pemersatu umat. Simpul – simpul kesadaran psiko-relegius mereka
bergetaran, terhubung secara simultan, dan dengan totalitas kesadaran seorang
hamba (abdi) mereka bersimpuh, luruh
dalam kesyahduan ibadah shalat berjamaah.
Sejak zaman Rasulullah hingga saat ini alunan
azan tidak mengalami perubahan. Lafalnya tetap seperti itu. Hanya saja, serasa
ada pergeseran semangat keagamaan yang tertangkap dari alunan azan. Tentu
pergeseran itu bukan terletak pada azannya, melainkan pada daya serap responsif
umat muslim itu sendiri. Respon umat Islam terhadap kumandang azan pada zaman
dahulu dan zaman sekaranglah yang berbeda. Dahulu meski azan dikumandangkan muazin
dari atas menara tanpa pengeras suara telah mampu menjadi energi pendobrak
kesadaran religius umat Islam. Mereka benar – benar merasakan panggilan Ilahi
yang sakral. Kesadaran religius mereka mengental, terasa betul panggilan Ilahi
yang begitu merdu.
Mereka merasakan rindu yang teramat sangat
untuk segera “berjumpa” dengan Allah melalui shalat. Bait demi bait azan
menguraikan makna terdalam dari prilaku keagamaan yang telah diyakini sepenuh
hati.
Sementara kita lihat pada saat ini. Dengan
kecanggihan teknologi kumandang azan terdengar sampai radius yang jauh. Bahkan
menjelajah ke dalam ruang-ruang kehidupan keluarga yang sangat privasi melalui
televisi. Mestinya, fenomena ini mampu menggandakan semangat keagamaan yang
berlipat-lipat dibandingkan pada masa umat Islam dahulu. Akan tetapi kenyataannya
tidak sepenuhnya demikian. Kumandang azan dianggap sebagai sebuah panggilan
rutinitas tanpa meninggalkan jejak-jejak penghayatan keagamaan yang hakiki.
Azan adalah ibadah yang mempunyai nilai atau
hikmah yang sangat agung. Karna itu, meski untuk shalat sendiri (munfarid) juga disunnahkan azan.
Pernyataan ini menemukan relevansinya dengan hadis :
Dari
Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Abu Sha’sha’ah bahwasanya Abu Sa’id Al Hudry r.a.
berkatakepadanya : Sesungguhnya saya melihat engkau suka pada kambing dan suka
berada di tengah hutan. Apabila engkau sedang menggembala kambingmu atau berada
di tengah – tengah hutanmu kemudian engkau azan untuk shalat maka keraskanlah
suaramu karna sesungguhnya yang mendengar suara orang azan itu baik jin,
manusia maupun sesuatu yang lain pasti akan menjadi saksi baginya nanti pada
hari Kiamat”. Abu Sa’id berkata lagi : “Demikianlah yang saya dengar dari
Rasulullah saw”.
Azan adalah peluang mendapat syafaat dari
Rasulullah. Yaitu dengan disunnahkan berdoa selepas azan :
Ya Allah Tuhan yang menguasai seruan ini dan shalat
yang akan dididrikan, berikanlah kepada Muhammad suatu wasilah, keutamaan dan
dudukanlah ia dalam tingkatan yang terpuji, yang telah engkau janjikan
kepadanya.
Rasulullah menjanjikan kepada orang yang
membaca doa tersebut selepas azan, berhak mendapat syafaatnya pada hari kiamat
nanti.
Oleh sebab itulah, fungsi utama azan memang
mengingatkan dan menyeru umat untuk shalat. Namun di dalamnya teerdapat juga
panggilan untuk sukses atau menang. Setiap untaian kalimat memiliki kedudukan
dan maknanya tersendiri. Penggugah, penyadaran dan penentraman pada Allahu Akbar, komitmen dan konsolidasi
jati diri pada syahadat, serta kegairahan menuju puncak pada panggilan shalah dan falah.
Gaung suara azan yang membelah langit adalah
syiar dan penanda keberadaan umat. Menara azan harus tidak kalah dari menara
BTS (Base Transciver Station)
seluler. Senantiasa hidup dan komunikatif dengan umat.
Kerapnya azan mengalun adalah isyarat motivasi
yang tak boleh berhenti selama hayat dikandung badan. Umat yang kini terpuruk
(kalah), perlu senantiasa diberi motivasi dengan memperbarui semangat
(revitalisasi) dan motivasi.
1.2 1.2 Rumusan Masalah
Setelah mengetahui latar belakang masalah, maka
penelitian ini terbatas membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan
semiotika nilai-nilai keislaman tayangan
azan magrib pada televisi lokal Duta Tv Banjarmasin. Hal-hal yang
dijadikan pembahasan penelitian adalah
efektifitas tayangan azan magrib terhadap kesadaran melakukan ibadah dan
kesinambungan antara tayangan azan magrib dengan nilai-nilai keislaman.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian atas semiotika nilai-nilai keislaman tayangan azan magrib pada televisi lokal Duta
Tv Banjarmasin, yaitu :
a. Untuk
mengetahui bagaimana efektifitas tayangan azan magrib pada televisi lokal Duta
Tv Banjarmasin dapat meningkatkan kesadaran melakukan ibadah.
b. Untuk
mengetahui kesinambungan antara tayangan azan magrib dengan nilai- nilai
keislaman.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini
:
1.4.1 Manfaat Praktis
Meningkatkan kesadaran melakukan ibadah dan
meningkatkan iman dan taqwa kepada Allah dengan tayangan azan yang idealnya
mencerminkan keislaman. Memahami makna azan, agar dapat menghasilkan sumber daya manusia
yang berkualitas, bermoral, berakhlak mulia dan bermanfaat bagi pembangunan bangsa
melalui pemahaman nilai-nilai keislaman pada azan magrib.
1.4.2 Manfaat Akademis
Adanya manfaat dari penelitian ini diharapkan,
seperti :
- Meningkatkan
pengetahuan nilai-nilai keislaman yang terkandung dalam azan magrib.
- Meningkatkan
pengetahuan seajauh mana fungsi azan dalam membangkitkan semangat untuk
beribadah.
- Untuk
bahan kajian penelitian suatu kasus yang berkaitan dengan laporan penelitian
ini di masa mendatang.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teoritis
2.1.1 Semiotika
Semiotika pada prinsipnya adalah sebuah disiplin
yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta Umberto Eco
(1976). Penjelajahan pengetahuan biasanya dilukiskan secara analogis seperti
seorang pengembara, yang selalu berkelana tanpa henti dan tanpa lelah dalam
upaya pencarian apa yang disebut sebagai suatu kebenaran. Dalam pengembaraan
tersebut, ia mencoba merekontruksi kembali realitas ke dalam lukisan-lukisan
kebenaran yang sejati. Lukisan apa pun yang ia gambarkan, ia menyebutnya
lukisan kebenaran sejati. Penjelajahan ilmu pengetahuan, dengan demikian, tak
lain dari penjelajahan kebenaran.
Meskipun jalan berliku
pengetahuan dapat menjebak seorang pengembara ke dalam apa yang disebut ilmu
pengetahuan palsu (pseudeo-science),
akan tetapi tidak sebuah bidang keilmuan pun secara sengaja mempunyai tujuan
utamanya menciptakan dusta, kebohongan, atau kepalsuan. Oleh sebab itulah, ilmu
pengetahuan (science) bersifat
objektif, rasional, transparan dan kejujurannya dibedakan secara diametrikal
dengan ideologi, yang oleh Marx dikatakan sebagai ilmu tentang kesadaran palsu
(false consciousness). Ideologi
selalu menciptakan pada diri setiap orang sebuah lukisan diri sebagai kebenaran,
padahal semuanya adalah lukisan palsu yang diciptakan oleh para elit ideolog.
Ilmu pengetahuan sebaiknya, tidak pernah menciptakan kesadaran palsu seperti
itu.
Akan tetapi, mungkinkah
ada sebuah ilmu pengetahuan khusus, yang didalamnya katagori-kategori seperti
dusta, tipu daya, kepalsuan, atau kebohongan merupakan hakikat dari ilmu
pengetahuan. Semiotika adalah salah satu dari ilmu, yang oleh beberapa pemikir
dikaitkan hakikatnya dengan kedustaan, kebohongan, dan kepalsuan sebuah teori
dusta. Adalah asumsi terhadap teori dusta inilah serta beberapa teori lainnya
yang sejenis yang dijadikan sebagai titik berangkat dari sebuah kecendrungan
semiotika.
Definisi semiotika yang
dikemukakan oleh Umberto Eco yang menyatakan, bahwa semiotika “ pada prinsipnya
adalah sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan
untuk berdusta (lie)”. Definisi Eco
ini meskipun mungkin sangat mencengangkan banyak orang secra eksplisit
menjelaskan betapa sentralnya konsep dusta di dalam wacana semiotika, sehingga
dusta tampaknya menjadi prinsip utama semiotika itu sendiri. Akan tetapi, apa
sesungguhnya maksud Eco dengsn definisi tersebut, apakah ia tengah
bermain-main, tengah menawarkan sebuah bahasa hiperbolis, tengah menciptakan
metafora atau tengah melakukan dusta itu sendiri. Sebab, bila segala sesuatu
yang dalam terminologi semiotika disebut sebagai tanda semata alat untuk
berdusta, maka setiap tanda akan mengandung muatan dusta , setiap makna adalah
dusta, setiap pengguna tanda adalah pendusta, setiap proses pertandaan (signification) adalah kedustaan, Eco
sendiri adalah seorang pendusta dan semiotika itu sendiri tak lebih dari sebuah
ilmu tentang kedustaan.
Apakah Eco sedang
bermain-main dalam hal ini. Penjelasan Eco berikut ini memperlihatkan, bahwa sesungguhnya
tuidak sedang bermain-main dengan definisi tersebut. Ia sedang
bersungguh-sungguh dan dengan serius menjelaskan sebuah teori semiotika.
Sebagaimana dikemukannya lebih lanjut: “Bila sesuatu tidak dapat digunakan
untuk mengungkapkan dusta, maka
sebaliknya ia tidak dapat pula digunakan untuk mengungkap kebenaran, ia pada
kenyataannya tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan apa-apa. Dia pikir
definisi sebagai teori kedustaan sudah sepantasnya diterima sebagai program
komperhensif untuk semiotika umum.
Meskipun demikian,
implisit dalam definisi Eco di atas adalah, bahwa bila semiotika adalah sebuah
teori kedustaan, maka ia sekaligus adalah teori kebenaran. Sebab, bila sebuah
tanda tidak dapat digunakan untuk untuk mengungkap suatu kebenaran, maka ia
tidak dapat pula digunakan untuk mengungkap kedustaan. Dengan demikian,
meskipun Eco menjelaskan semiotika sebagai teori kedustaan, implisit di
dalamnya adalah teori kebenaran, seperti kata siang yang implisit dalam kata
malam.
Bila memang demikian, apa
sebenarnya makna kata dusta yang digunakan Eco, dalam kaitannya dengan relasi
semiotika antara tanda, makna dan realitas (referensi). Di dalam Oxford
Advanced Learner’s kata dusta (lie)
didefinisikan sebagai “ mengatakan atau menulis sesuatu yang anda tahu itu
tidak benar”. Artinya, antara yang dikatakan atau ditulis tidak sesuai dengan
realitas yang sesungguhnya. Terdapart hubungan yang tidak simestris antara
tanda dan realitas. Dalam terminologi simiotika, terdapat jurang yang amat
dalam antara sebuah tanda dsan referensinya pada realitas (refrent). Konsep, isi atau makna dari apa yang dibicarakan atau
ditulis tidak sesuai dengan realitas yang dilukiskan. Seseorang mengatakan [A]
sementara realitas yang sesungguhnya [B]. Sebaliknya, seseorang dikatakan
tengah mengungkapkan kebenaran ketika tanda yang digunakannya mempunyai
hubungan yang relatif simestris dengan referensi realitasnya. Dalam pengertian,
tanda [A] menceritakan realitas [A].
Akan tetapi,
sebagaimana dijelaskan nanti, definisi semiotika oleh Eco sebagai teori
kedustaan, meskipun sangat kreatif dan menantang tampaknya tidak cukup
komperhensif untuk menjelaskan relasi antara tanda, makna danrealitas di dalam
kehidupan dunia sosial yang sesungguhnya jauh lebih kompleks, ketimbang relasi
oposisi biner dusta atau kebenaran semata. Ketimbang sekedar muatan dusta dalam
relasi antara tanda dan realitas. Misalnya, terdapat muatan kepalsuan (pseudo), yaitu ketika sebuah tanda
berpretensi mengungkapkan sebuah realitas, padahal ungkapan tesebut palsu, dalam
pengertian ini seolah-olah sudah mempresentasikan sebuah realitas, padahal baru
sebagian kecil unsur realitas tersebut atau permukaan luarnya saja yang
dipresentasikan, seperti misalnya pada rambut palsu atau gigi palsu. Sebuah
tanda dalam hal ini tidak mendustakan, tetapi memalsukan realitas. Seseorang
mengatakan [A] untuk realitas yang sebenarnya adalah [A].
Selain itu, ada
kemungkinan relasi lain antara tanda, makna dan realitas, yaitu simulasi.
Istilah simulasi ini dengan sergera mengingatkan orang pada Jean Baudrillard,
seorang pemikir Prancis, yang dalam bukunya Simulations,
ia menjelaskan kompleksitas realasi antara tanda, citra dan realitas, yang
didlamnya sebuah tanda mempresentasikan realitas (representation). Kedua, citra menopengi dan memutar balik realitas,
seperti yang terdapat pada kejahatan (malefice).
Ketiga, citra monepengi ketiadaan realitas, sepwrti yang terdapat pada ilmu
sihir (sorcery). Keempat, citra tidak
berkaitan dengan realitas apa pun, disebabkan citra merupakan simulakrum dirinya
sendiri (pure simulacrum), yang
prosesnya disebut simulasi. Dalam hal ini, sebuah tanda [A] tidak berkaitan
dengan realitas apa pun [ ] diluar dirinya, oleh karena ia merupakan salinan (copy) dari dirinya sendiri pure simulacrum.
2.1.2 Kontribusi Semiotika
Terhadap Studi Ilmu-ilmu Agama
Semiotika
bukanlah istilah yang baru, sebab dari asal katanya semion, kata Yunani yang
berarti tanda, terlihat bahwa istilah semiotika telah digunakan sejak zaman
Yunani Kuno. Akan tetapi, sebagai suatu cabang keilmuan, semiotika baru
berkembang pada tahun 1990-an. Meskipun demikian, hingga kini masih
diperbincangkan masalah-masalah epistemologis, berkaitan dengan landasan
teoritis, cakupan dan batas-batas keilmuan, termasuk pertanyaan tentang
kontribusi semiotika terhadap cabang-cabang keilmuan lain.
Walaupun
definisi semiotika yang dikemukakan Ferdinand de Saussure di dalam Course in General Linguistics sebagai “
cabang keilmuan yang mempelajari tentang penggunaan tanda di dalam masyarakat”
telah diterima secaraluas, namun masih saja diperdebatkan tentang intervensi
semiotika terhadap cabang keilmuan lain. Pertanyaannya adalah, apakah semiotika
melingkupi segala bentuk penggunaan tanda, segala bentuk komunikasi, serta
segala subjek yang terlibat didalamnya. Setidaknya terdapat lima subjek dalam
berbagai rantai komunikasi, yaitu: manusia, makluk lain, alam, benda (mesin),
Tuhan. Hubungan antar manusia telah banyak dikaji melalui semiotika umum.
Hubungan komunikasi antara fauna dikaji secara khusus melalui zoosemiotics. Komunikasi antara manusia
dengan computer dikaji melalu semiotika formal. Namun, apakah fenomena
komunikasi antara manusia dan jin merupakan fenomena simeotika.begitu juga
komunikasi manusia dengan Tuhan.
Selain
itu, sebagai suatu cabang keilmuan tentang tanda, apakah semiotika melingkupi
segala jenis dan tanda mulai dari ekpresi muka, cara beribadat, upacara ritual,
matahari terbenam, sampai dengan cat kuku, film, makanan, iklan dan seterusnya.
Ilmu kedokteran misalnya, berupaya menghubungkan antara gejala (symptom) sebagai satu tanda dengan
penyakit tertentu. Meteorologi, membaca kondisi cuaca sebagai tanda untuk
mengetahui perubahan cuaca. Ilmu ekonomi membaca struktur dan kondisi pasar
sebagi suatu tanda untuk mengetahui trend pasar. Bila semua jenis tanda ini
menjadi cakupan semiotika, menjadi satu pertanyaan, sampai sejauh mana
semiotika dapat merambah ke dalam cabang-cabang keilmuan yang lain.
Permasalah
ini perlu dikemukakan di sini, dalam rangka melatar belakangi pertanyaan
tentang kontribusi semiotika terhadap ilmu-ilmu agama. Alas an abgi pertanyaan
ini adalah : bahwa iklmu-ilmu agama sendiri bila ingin disoroti fenomena
semiotika dan komunikasi di dalamnya setidaknya mengandung di dalamnya
rantai-rantai komuniukasi horizontal antara manusia dengan manusia (hablun-minannas), manusia dengan alam
(adab terhadap alam), mausia dengan makhluk lain, rantai komunikasi vertical
manusia dengan Tuhan (hablun-minallah).
Menanggapi
pernyataan tentang tapal batas keilmuan tersebut di atas, beberapa ahli semiotika
seperti Umberto Eco, Roland Barthes, Coward dan Ellis, tampaknya bersepakat
tentang suatu hal bahwa apa pun bentuk tanda yang digunakan, siapapun subjek
yang terlibat, selama ia digunakan dalam satu system pertandaan dan komunikasi,
serta berlandaskan pada kesepakatan sosial (konvensi, kode) tertentu, dengan
asumsi makna tertentu, maka ia merupakan fenomena semiotika. Hal ini juga
berlaqku pada proses pertandaan dan komunikasi di dalam ilmu-ilmu agama.
Dikotomi semiotika antara signifikansi dan signifiance,
sekaligus menggambarkan dikotomi antara langue
dan parole, dan pada tingkat
filosofis antara paham idealisme dan matrealisme. Ada kecendrungan pada wacana
bahasa di Barat untuk melihat dikotomi ini sebagai layaknya pilihan multiple choice yakni memilih satu kutub
ekstrim. Misalnya, demi menjunjung tinggi kreativitas dalam bahasa, maka segala
bentuk konvensi dank ode-kode social diabaikan dan didekontruksi, sehingga
berkembanglah produksi tanda secara anarkis (lihat fenomena film, televisi,
video klip).
Islam,
seperti yang dapat dibuktikan tidak melihat dua hal yang bersebrangan ini
sebagai suatu dikotomi atau oposisi biner seperti pilihan ganda, melainkan dua
hal yang berkaitan secara hierarkis saja. Pada tingkat hirarki yang tertinggi,
ada makna-makna transendensi yang wajib diterima dan diyakini, sedangkan pada
tingkat yang lebih rendah, ada makna-makna yang bias diproduksi secara kreatif.
Islam melihat dua hal ini sebagai sesuatu yang dapat dipadukan dan saling
mengisi dengan harmonis.
2.1.3 Azan Magrib
“Allahu Akbar, Allahu Akbar (2x)
Asyhadu anla ilaha aillallah (2x)
Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah (2x)
Hayya ‘alash shalah (2x)
Hayya ‘alal falah (2x)
Allahu Akbar, Allahu Akbar (2x)
La ilaha illallah!” (1x)
Orang
Islam tentu sudah sangat familier dengan untaian kalimat di atas. Itulah azan.
Setiap hari kita mendengarnya mengalun di masjid maupun di tayangan televisi.
Lagunya khas dan merdu. Liriknya menggugah rasa. Kalimat itu sudah “ditiupkan”
ke tekinga kanan kita sejak baru lahir. Dalam tradisi sebagaian umat, kalimat
itu bahkan “diperdengarkan” pada tubuh yang sudah kaku berbalut kain putih di
liang kubur.
Simbol
(syi’ar) kebesaran Islam itu kita
harapkan terus berkumandang di udara. Selalu lekat di haqti. Terus menyertai
langkah umat menaempuh hari depan yang semakin penuh rintangan dan tantangan.
Secara logika, selama umat Islam masih ada dan bangunan masjid masih tegak,
azan akan tetap berkumandang. Akan tetapi, prediksi logika tersebut bukanklah
jaminan. Sebab, sekarang kita hidup di dalam zaman yang sudah di kuasai oleh
teknologi informatika (TI).
Berada
di bawah “penjajahan” TI seperti kita rasakan saat ini, kita sebagai yang
terjajah, dibuat hidup seperti di taman surga. Segala sesuatu yang kita mau
tinggal sebut, atau pijit tombol semua tersedia dalam waktu singkat. Tetapi
bersamaan dengan itu, pada umumnya kita tidak menyadari, ia menggerogoti
bareang-barang berharga milik kita. Misalnya, yang sudah ketahuan moral
(akhlak). Manakala kita tidak merasa kehilangan, berarti mentalitas keagamaan
kita pun mulai terkikis.
Dalam
ketidak berdayaan membendung arus invasi TI keseluruh wilayah kehidupan kita,
satu-satunya jalan untuk memastikan azan tetap dan terus berkumandang adalah
dengan menambah daya tahan azan. Bukan dengan menyuntikan obat kuat pada azan,
karena dari segi teksnya tiada permasalahan. Titik kritisnya justru terletak
pada pemakaian (umat), yaitu bagaimana umat memandang azan dan menempatkan di
hati pada posisi yang tepat. Ini jelas bukan masalah tunggal sebab, “memandang”
di sini bukan hanya melihat dengan mata kepala, melainkan juga melibatkan
ketajaman mata pikiran dan hati. Untuk menepatkan azan pada posisi yang tepat,
semua mata itu harus membukakan jalannya.
Menurut
suatu hadis shahih diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Abu Hurairah, apabila
terdengar suara azan, syertan lari sembari kentut dengan keras, sehingga azan
tak terdengar. Bisa saja kentut syetan itu, yang selama ini banyak berupa
tayangan sinetron televisi di waktu azan dan sejenisnya, suatu saat menjelma
dalam bentuk seruan dari kembaga HAM. Tetapi hal seperti ini hanya cukup di
waspadai saja. Kita tidak boleh berpikir the
enemy is out there, musuh berada diluar sana, yang sudah menjadi suatu
budaya kita. Tenaga kita sangat diperlukan untuk focus terhadap perbaikan diri.
Karena, titik kritis kita sudah jelas, bagaimana kita memandang azan dan
menempatkannyadi hati pada posisi yang tepat.
Betapa
azan berperan besar sebagai pengungkit yang dapat menciptakan perubahan besar.
Shalat berjamah terdongkrak dan melalui terciptanya keseimbangan keadaan banyak
berubah kearah yang lebih baik. Itu tidak terlepas dari masuknya hayya
a’lal falah sebagai panggilan, sehingga setiap usaha memenuhi panggilan itu
mengikuti prinsip ekonomi, yaitu hasil besar bukanlah berasal dari upaya
bersekala besar, melainkan dari tindakan-tindakan kecil tertapi terfokus dengan
baik.
2.2
Duta Tv Banjarmasin
Duta TV sebagai salah satu televisi lokal ternama di Kalimantan kini selalu hadir dengan memperluas jaringan daya siar dan pola siaran yang berkualitas. Didukung pemancar, studio dan teknologi broadcast, Duta TV menjadi satu-satunya televisi lokal yang kini memiliki ijin siaran tetap dari Menteri Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia dan diakui Komisi Penyediaan Transport.
Beberapa keunggulan Duta TV Banjarmasin :
- Menyuguhkan berbagai program, acara, Duta TV sangat konsen sebagai televisi lokal news, agar menjadi trend setter masyarakat yang membutuhkan informasi yang cepat dan akurat agar akurat, bertanggung jawab dan selalu menginspirasi banua.
- Bersiaran di kanal 44 UHF, daya jangkau siaran Duta TV tidak hanya berada di Kota Banjarmasin, tetapi kota Banjarbaru, kabupaten Banjar, kabupaten Barito kuala, kab. Tapin dan Kawasan Banua Anam, kabupaten Tanah Laut, kabupaten Tanah Bumbu hingga Kapuas dan Pulang Pisau dari Kalimantan Tengah.
- Didukung sumber daya manusia yang ahli di bidangnya, sejumlah program unggulan tertuang dalam bentuk news bulletin dan news magazine yang penggarapannya 80 persen mengusung hasil produksi anak banua asli, sebagai karya in house program. Pola siaran yang mengutamakan konten lokal dan budaya Banjar, membuat tayangan-tayangan Duta TV, kian mudah diterima khalayak pemirsa.
- Unggul teknologi dan sumber daya manusia dalam menyuguhkan siaran dan tayangan televisi lokal yang berkualitas, membuat Duta TV menjadi sarana yang pas bagi anda untuk bermitra, baik untuk berpromosi maupun aktualisasi diri.
Duta Tv Banjarmasin
Duta TV sebagai salah satu televisi lokal ternama di Kalimantan kini selalu hadir dengan memperluas jaringan daya siar dan pola siaran yang berkualitas. Didukung pemancar, studio dan teknologi broadcast, Duta TV menjadi satu-satunya televisi lokal yang kini memiliki ijin siaran tetap dari Menteri Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia dan diakui Komisi Penyediaan Transport.
Beberapa keunggulan Duta TV Banjarmasin :
- Menyuguhkan berbagai program, acara, Duta TV sangat konsen sebagai televisi lokal news, agar menjadi trend setter masyarakat yang membutuhkan informasi yang cepat dan akurat agar akurat, bertanggung jawab dan selalu menginspirasi banua.
- Bersiaran di kanal 44 UHF, daya jangkau siaran Duta TV tidak hanya berada di Kota Banjarmasin, tetapi kota Banjarbaru, kabupaten Banjar, kabupaten Barito kuala, kab. Tapin dan Kawasan Banua Anam, kabupaten Tanah Laut, kabupaten Tanah Bumbu hingga Kapuas dan Pulang Pisau dari Kalimantan Tengah.
- Didukung sumber daya manusia yang ahli di bidangnya, sejumlah program unggulan tertuang dalam bentuk news bulletin dan news magazine yang penggarapannya 80 persen mengusung hasil produksi anak banua asli, sebagai karya in house program. Pola siaran yang mengutamakan konten lokal dan budaya Banjar, membuat tayangan-tayangan Duta TV, kian mudah diterima khalayak pemirsa.
- Unggul teknologi dan sumber daya manusia dalam menyuguhkan siaran dan tayangan televisi lokal yang berkualitas, membuat Duta TV menjadi sarana yang pas bagi anda untuk bermitra, baik untuk berpromosi maupun aktualisasi diri.
2.3 Kerangka Berpikir
BAB
III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Penulis
menggunakan Metode Penelitian Kualitatif, yang mana dalam memperoleh informasi penuli
satau peneliti harus terjun langsung kelapangan untuk mengetahui kondisi daerah
penelitian. Penelitian Kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati. Bog dan Taylor (1992: 21-22)
.
3.2 Tipe
Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan
adalah Deskriptif Kualitatif yang mengkaji dan menggambarkan rincian tentang
sesuatu yang terjadi pada suatu kegiatan atau situasi tertentu.
3.3 Lokasi
Penelitian
Penelitian dilakukan di kabupaten Tanah Laut
tepatnya di Kelurahan Angsau. Tempat ini
dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa lokasi ini memang tepat untuk
dilakukan sebuah penelitian tentang nilai-nilai keislaman pada tayangan azan
magrib. Hal ini dianggap menarik perhatian, oleh karena itu penulis memilih
daerah tersebut sebagai tempat penelitian.
3.4 Teknik
Pengumpulan Data
Instrumen penelitian yang digunakan untuk
mengumpulkan data antara lain :
3.4.1
Pengamatan Langsung (Observasi)
Pengamatan langsung (observasi) ini dilakukan
dengan cara mengamati langsung terhadap objek yang akan diteliti, tujuan dari
pengamatan langsung ini adalah untuk memperoleh data tentang nilai-nilai
tayangan Azan Magrib pada televisi lokal
Duta Tv Banjarmasin.
3.4.2
Wawancara
Wawancara merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan jalan mengadakan komunikasi dengan sumber data. Komunikasi tersebut dilakukan dengan dialog ( Tanya jawab ) secaralisan, baik langsung maupun tidak langsung ( I. Djumhurdan Muh.Surya,1985 ).
Wawancara merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan jalan mengadakan komunikasi dengan sumber data. Komunikasi tersebut dilakukan dengan dialog ( Tanya jawab ) secaralisan, baik langsung maupun tidak langsung ( I. Djumhurdan Muh.Surya,1985 ).
Wawancara ini dilakukan secara terstruktur, yaitu
seluruh pertanyaan sudah ditentukan sebelumnya sesuai tujuan penulis yaitu
untuk mengetahui tentang efektifitas tayangan azan magrib terhadap kesadaran
melakukan ibadah dan kesinambungan antara tayangan azan magrib dengan nilai-nilai
keislaman.
3.4.3 Dokumentasi
Dokumentasi digunakan untuk mengamati dan mencari
tahu informasi tentang nilai-nilai keislaman pada tayangan Azan
Magrib pada televisi lokal Duta Tv Banjarmasin.
3.5
Teknik Analisa Data
3.5.1
Reduksi Data
Dalam
mereduksi data, data-data yang didapat dalam penelitian akan dipilih dan
dirangkum. Hal ini bertujuan untuk memusatkan perhatian pada data-data
tersebut.
3.5.2
Penyajian Data
Data yang
telah dikumpulkan disajikan dengan terorganisasi sehingga akan lebih mudah di
pahami.
3.5.3
Verifikasi
Dalam tahap ini,
data yang telah dikumpulkan dan terorganisasi sehingga akan lebih mudah
dipahami akan ditarik kesimpulan dan dilakukan verifikasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Arbain, Taufik.
2009. Pedoman Penulisan Skripsi. Banjarmasin
: Pustaka Banua Banjarmasin
Ruslan, Rosady.
2010. Metode Penelitian PR dan
Komunikasi. Jakarta : Rajawali Pers
Sarman,
Mukhtar. 2004. Pengantar Metodologi
Penelitian Sosial. Banjarmasin: Pustaka FISIP Unlam
Art,
Van Zoes. 1996. Serba Serbi Semiotika. Jakarta
: PT. Gramedia Pusaka
Sachri,
A. 1987. Seni Desain dan Teknologi. Bandung
: Nova
Ecco,
Umbreto. 1980. The Theory Semiotics. London
: Indiana Univercity Press. Bloomington
Referensi Website :
www.eramuslim.com/syariah/quran-sunnah/mukjizat-adzan
desember 17. 2012
www.kisahislam.com/kisah-nyata/65-terpikat-suara-adzan-tatiana-pilih-islam
desember 17 . 2012
www.anakbayi.com/blog-entry/menagis-langsung-diam-begitu-mendengar-suara-adzan
desember 17 . 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar