Senin, 04 Maret 2013

Metodelogi Penelitian Komunikasi



PROPOSAL
 NILAI – NILAI KEISLAMAN  TAYANGAN AZAN MAGRIB
(Semiotika dalam Tayangan Azan Magrib pada Televisi Lokal
Duta Tv Banjarmasin)

Untuk Memenuhi Mata Kuliah Metodelogi Penelitian Komunikasi  
MPB - 502
 

OLEH :
NAMA : MUHAMMAD GHALIH
NIM : D1C110038

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARMASIN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
BANJARMASIN
2013



DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................................

BAB I      PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang Masalah..........................................................     1
1.2         Perumusan Masalah................................................................. .... 4
1.3         Tujuan Penelitian..................................................................... .... 4
1.4         Manfaat Penelitian.................................................................. .... 5
1.4.1      Manfaat Praktis ......................................................... .... 5
1.4.2      Manfaat Akademis ................................................... .... 5

BAB II    TINJAUAN PUSTAKA
2.1         Tinjauan Teoritis...................................................................... .... 6
2.1.1      Semiotika................................................................... .... 6
2.1.2      Kontribusi Semiotika Terhadap Studi Ilmu-Ilmu
              Agama........................................................................ .... 10
2.1.3      Azan Magrib.............................................................. .... 13
2.2         Kerangka Pemikiran................................................................ .... 15

BAB III   METODE PENELITIAN
3.1         Pendekatan Penelitian............................................................. .... 16
3.2         Tipe Penelitian......................................................................... .... 16
3.3         Lokasi Penelitian..................................................................... .... 16
3.4         Teknik Pengumpulan Data...................................................... .... 17
3.4.1      Pengamatan Langsung (Observasi) ........................... .... 17
3.4.2      Wawancara ............................................................... .... 17
3.4.3      Dokumentasi ............................................................. .... 18
3.5         Teknik Analisa Data ............................................................... .... 18
3.5.1      Reduksi Data ............................................................ .... 18
3.5.2      Penyajian Data .......................................................... .... 18
3.5.3      Verifikasi .................................................................. .... 18


DAFTAR PUSTAKA




BAB I
PENDAHULUAN
1.1 
 1.1              Latar Belakang
Selama umat Islam masih ada dan bangunan masjid masih tegak, azan akan tetap berkumandang. Akan tetapi, prediksi logika tersebut bukanlah jaminan. Sebab, sekarang kita hidup dalam zaman yang “kedaulatan tertinggi” berada di tangan teknologi informatika (TI).  Andai saja Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbih tidak pernah bermimpi ihwal seorang pria yang mengitarinya seraya mengumandangkan takbir hingga tahlil yang kemudian hari diteguhkan Rasulullah sebagai lantunan azan, bisa jadi perdebatan mengenai cara memberitahukan tibanya waktu shalat lima waktu masih menyisakan persoalan. Sebab, sebelum Rasulullah membenarkan mimpi itu sebagai bisikan Allah, kaum muslimin bersilang pendapat terhadap penanda tibanya waktu shalat. Hampir saja mereka terperosok pada identitas umat epigonistik, menyalin tradisi penanda waktu ibadah agama lain. Membunyikan bel meniru tradisi Nasrani atau meniup terompet seperti adat Yahudi. Beruntung, bisikan Allah menghampiri Abdulah bin Zaid bin Abdi Rabbih hingga tercetuslah azan yang pertama kali dikumandangkan oleh sahabat Billal bin Rabah.
Pada masa itu, azan menemukan momentum sebagai penyeru dengan “kekuatan supranatural” yang sangat dahsyat. Ketika azan berkumandang, kaum muslimin bergegas meninggalkan seluruh aktivitas duniawi dan segera menuju masjid untuk menunaikan shalat berjamaah. Dalam konteks demikian, azan adalah pemersatu umat. Simpul – simpul kesadaran psiko-relegius mereka bergetaran, terhubung secara simultan, dan dengan totalitas kesadaran seorang hamba (abdi) mereka bersimpuh, luruh dalam kesyahduan ibadah shalat berjamaah.
Sejak zaman Rasulullah hingga saat ini alunan azan tidak mengalami perubahan. Lafalnya tetap seperti itu. Hanya saja, serasa ada pergeseran semangat keagamaan yang tertangkap dari alunan azan. Tentu pergeseran itu bukan terletak pada azannya, melainkan pada daya serap responsif umat muslim itu sendiri. Respon umat Islam terhadap kumandang azan pada zaman dahulu dan zaman sekaranglah yang berbeda. Dahulu meski azan dikumandangkan muazin dari atas menara tanpa pengeras suara telah mampu menjadi energi pendobrak kesadaran religius umat Islam. Mereka benar – benar merasakan panggilan Ilahi yang sakral. Kesadaran religius mereka mengental, terasa betul panggilan Ilahi yang begitu merdu.
Mereka merasakan rindu yang teramat sangat untuk segera “berjumpa” dengan Allah melalui shalat. Bait demi bait azan menguraikan makna terdalam dari prilaku keagamaan yang telah diyakini sepenuh hati.
Sementara kita lihat pada saat ini. Dengan kecanggihan teknologi kumandang azan terdengar sampai radius yang jauh. Bahkan menjelajah ke dalam ruang-ruang kehidupan keluarga yang sangat privasi melalui televisi. Mestinya, fenomena ini mampu menggandakan semangat keagamaan yang berlipat-lipat dibandingkan pada masa umat Islam dahulu. Akan tetapi kenyataannya tidak sepenuhnya demikian. Kumandang azan dianggap sebagai sebuah panggilan rutinitas tanpa meninggalkan jejak-jejak penghayatan keagamaan yang hakiki.
Azan adalah ibadah yang mempunyai nilai atau hikmah yang sangat agung. Karna itu, meski untuk shalat sendiri (munfarid) juga disunnahkan azan. Pernyataan ini menemukan relevansinya dengan hadis :

Dari Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Abu Sha’sha’ah bahwasanya Abu Sa’id Al Hudry r.a. berkatakepadanya : Sesungguhnya saya melihat engkau suka pada kambing dan suka berada di tengah hutan. Apabila engkau sedang menggembala kambingmu atau berada di tengah – tengah hutanmu kemudian engkau azan untuk shalat maka keraskanlah suaramu karna sesungguhnya yang mendengar suara orang azan itu baik jin, manusia maupun sesuatu yang lain pasti akan menjadi saksi baginya nanti pada hari Kiamat”. Abu Sa’id berkata lagi : “Demikianlah yang saya dengar dari Rasulullah saw”.

Azan adalah peluang mendapat syafaat dari Rasulullah. Yaitu dengan disunnahkan berdoa selepas azan :
Ya Allah Tuhan yang menguasai seruan ini dan shalat yang akan dididrikan, berikanlah kepada Muhammad suatu wasilah, keutamaan dan dudukanlah ia dalam tingkatan yang terpuji, yang telah engkau janjikan kepadanya.
Rasulullah menjanjikan kepada orang yang membaca doa tersebut selepas azan, berhak mendapat syafaatnya pada hari kiamat nanti.
Oleh sebab itulah, fungsi utama azan memang mengingatkan dan menyeru umat untuk shalat. Namun di dalamnya teerdapat juga panggilan untuk sukses atau menang. Setiap untaian kalimat memiliki kedudukan dan maknanya tersendiri. Penggugah, penyadaran dan penentraman pada Allahu Akbar, komitmen dan konsolidasi jati diri pada syahadat, serta kegairahan menuju puncak pada panggilan shalah dan falah.
Gaung suara azan yang membelah langit adalah syiar dan penanda keberadaan umat. Menara azan harus tidak kalah dari menara BTS (Base Transciver Station) seluler. Senantiasa hidup dan komunikatif dengan umat.
Kerapnya azan mengalun adalah isyarat motivasi yang tak boleh berhenti selama hayat dikandung badan. Umat yang kini terpuruk (kalah), perlu senantiasa diberi motivasi dengan memperbarui semangat (revitalisasi) dan motivasi.

1.2              1.2            Rumusan Masalah
Setelah mengetahui latar belakang masalah, maka penelitian ini terbatas membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan semiotika nilai-nilai keislaman  tayangan azan magrib pada televisi lokal Duta Tv Banjarmasin. Hal-hal yang dijadikan  pembahasan penelitian adalah efektifitas tayangan azan magrib terhadap kesadaran melakukan ibadah dan kesinambungan antara tayangan azan magrib dengan nilai-nilai keislaman.

1.3       Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian atas semiotika nilai-nilai keislaman  tayangan azan magrib pada televisi lokal Duta Tv Banjarmasin,  yaitu :
a.         Untuk mengetahui bagaimana efektifitas tayangan azan magrib pada televisi lokal Duta Tv Banjarmasin dapat meningkatkan kesadaran melakukan ibadah.
b.         Untuk mengetahui kesinambungan antara tayangan azan magrib dengan nilai- nilai keislaman.
1.4       Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini :
1.4.1    Manfaat Praktis
Meningkatkan kesadaran melakukan ibadah dan meningkatkan iman dan taqwa kepada Allah dengan tayangan azan yang idealnya mencerminkan keislaman. Memahami makna azan,  agar dapat menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, bermoral, berakhlak mulia dan bermanfaat bagi pembangunan bangsa melalui pemahaman nilai-nilai keislaman pada azan magrib.
1.4.2    Manfaat Akademis
Adanya manfaat dari penelitian ini diharapkan, seperti :
-           Meningkatkan pengetahuan nilai-nilai keislaman yang terkandung dalam azan magrib.
-           Meningkatkan pengetahuan seajauh mana fungsi azan dalam membangkitkan semangat untuk beribadah.
-          Untuk bahan kajian penelitian suatu kasus yang berkaitan dengan laporan penelitian ini di masa mendatang.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1       Tinjauan Teoritis
2.1.1    Semiotika
            Semiotika pada prinsipnya adalah sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta Umberto Eco (1976). Penjelajahan pengetahuan biasanya dilukiskan secara analogis seperti seorang pengembara, yang selalu berkelana tanpa henti dan tanpa lelah dalam upaya pencarian apa yang disebut sebagai suatu kebenaran. Dalam pengembaraan tersebut, ia mencoba merekontruksi kembali realitas ke dalam lukisan-lukisan kebenaran yang sejati. Lukisan apa pun yang ia gambarkan, ia menyebutnya lukisan kebenaran sejati. Penjelajahan ilmu pengetahuan, dengan demikian, tak lain dari penjelajahan kebenaran.
            Meskipun jalan berliku pengetahuan dapat menjebak seorang pengembara ke dalam apa yang disebut ilmu pengetahuan palsu (pseudeo-science), akan tetapi tidak sebuah bidang keilmuan pun secara sengaja mempunyai tujuan utamanya menciptakan dusta, kebohongan, atau kepalsuan. Oleh sebab itulah, ilmu pengetahuan (science) bersifat objektif, rasional, transparan dan kejujurannya dibedakan secara diametrikal dengan ideologi, yang oleh Marx dikatakan sebagai ilmu tentang kesadaran palsu (false consciousness). Ideologi selalu menciptakan pada diri setiap orang sebuah lukisan diri sebagai kebenaran, padahal semuanya adalah lukisan palsu yang diciptakan oleh para elit ideolog. Ilmu pengetahuan sebaiknya, tidak pernah menciptakan kesadaran palsu seperti itu.
            Akan tetapi, mungkinkah ada sebuah ilmu pengetahuan khusus, yang didalamnya katagori-kategori seperti dusta, tipu daya, kepalsuan, atau kebohongan merupakan hakikat dari ilmu pengetahuan. Semiotika adalah salah satu dari ilmu, yang oleh beberapa pemikir dikaitkan hakikatnya dengan kedustaan, kebohongan, dan kepalsuan sebuah teori dusta. Adalah asumsi terhadap teori dusta inilah serta beberapa teori lainnya yang sejenis yang dijadikan sebagai titik berangkat dari sebuah kecendrungan semiotika.
            Definisi semiotika yang dikemukakan oleh Umberto Eco yang menyatakan, bahwa semiotika “ pada prinsipnya adalah sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta (lie)”. Definisi Eco ini meskipun mungkin sangat mencengangkan banyak orang secra eksplisit menjelaskan betapa sentralnya konsep dusta di dalam wacana semiotika, sehingga dusta tampaknya menjadi prinsip utama semiotika itu sendiri. Akan tetapi, apa sesungguhnya maksud Eco dengsn definisi tersebut, apakah ia tengah bermain-main, tengah menawarkan sebuah bahasa hiperbolis, tengah menciptakan metafora atau tengah melakukan dusta itu sendiri. Sebab, bila segala sesuatu yang dalam terminologi semiotika disebut sebagai tanda semata alat untuk berdusta, maka setiap tanda akan mengandung muatan dusta , setiap makna adalah dusta, setiap pengguna tanda adalah pendusta, setiap proses pertandaan (signification) adalah kedustaan, Eco sendiri adalah seorang pendusta dan semiotika itu sendiri tak lebih dari sebuah ilmu tentang kedustaan.
            Apakah Eco sedang bermain-main dalam hal ini. Penjelasan Eco berikut ini memperlihatkan, bahwa sesungguhnya tuidak sedang bermain-main dengan definisi tersebut. Ia sedang bersungguh-sungguh dan dengan serius menjelaskan sebuah teori semiotika. Sebagaimana dikemukannya lebih lanjut: “Bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan  dusta, maka sebaliknya ia tidak dapat pula digunakan untuk mengungkap kebenaran, ia pada kenyataannya tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan apa-apa. Dia pikir definisi sebagai teori kedustaan sudah sepantasnya diterima sebagai program komperhensif untuk semiotika umum.
            Meskipun demikian, implisit dalam definisi Eco di atas adalah, bahwa bila semiotika adalah sebuah teori kedustaan, maka ia sekaligus adalah teori kebenaran. Sebab, bila sebuah tanda tidak dapat digunakan untuk untuk mengungkap suatu kebenaran, maka ia tidak dapat pula digunakan untuk mengungkap kedustaan. Dengan demikian, meskipun Eco menjelaskan semiotika sebagai teori kedustaan, implisit di dalamnya adalah teori kebenaran, seperti kata siang yang implisit dalam kata malam.
            Bila memang demikian, apa sebenarnya makna kata dusta yang digunakan Eco, dalam kaitannya dengan relasi semiotika antara tanda, makna dan realitas (referensi). Di dalam Oxford Advanced Learner’s kata dusta (lie) didefinisikan sebagai “ mengatakan atau menulis sesuatu yang anda tahu itu tidak benar”. Artinya, antara yang dikatakan atau ditulis tidak sesuai dengan realitas yang sesungguhnya. Terdapart hubungan yang tidak simestris antara tanda dan realitas. Dalam terminologi simiotika, terdapat jurang yang amat dalam antara sebuah tanda dsan referensinya pada realitas (refrent). Konsep, isi atau makna dari apa yang dibicarakan atau ditulis tidak sesuai dengan realitas yang dilukiskan. Seseorang mengatakan [A] sementara realitas yang sesungguhnya [B]. Sebaliknya, seseorang dikatakan tengah mengungkapkan kebenaran ketika tanda yang digunakannya mempunyai hubungan yang relatif simestris dengan referensi realitasnya. Dalam pengertian, tanda [A] menceritakan realitas [A].
            Akan tetapi, sebagaimana dijelaskan nanti, definisi semiotika oleh Eco sebagai teori kedustaan, meskipun sangat kreatif dan menantang tampaknya tidak cukup komperhensif untuk menjelaskan relasi antara tanda, makna danrealitas di dalam kehidupan dunia sosial yang sesungguhnya jauh lebih kompleks, ketimbang relasi oposisi biner dusta atau kebenaran semata. Ketimbang sekedar muatan dusta dalam relasi antara tanda dan realitas. Misalnya, terdapat muatan kepalsuan (pseudo), yaitu ketika sebuah tanda berpretensi mengungkapkan sebuah realitas, padahal ungkapan tesebut palsu, dalam pengertian ini seolah-olah sudah mempresentasikan sebuah realitas, padahal baru sebagian kecil unsur realitas tersebut atau permukaan luarnya saja yang dipresentasikan, seperti misalnya pada rambut palsu atau gigi palsu. Sebuah tanda dalam hal ini tidak mendustakan, tetapi memalsukan realitas. Seseorang mengatakan [A] untuk realitas yang sebenarnya adalah [A].
            Selain itu, ada kemungkinan relasi lain antara tanda, makna dan realitas, yaitu simulasi. Istilah simulasi ini dengan sergera mengingatkan orang pada Jean Baudrillard, seorang pemikir Prancis, yang dalam bukunya Simulations, ia menjelaskan kompleksitas realasi antara tanda, citra dan realitas, yang didlamnya sebuah tanda mempresentasikan realitas (representation). Kedua, citra menopengi dan memutar balik realitas, seperti yang terdapat pada kejahatan (malefice). Ketiga, citra monepengi ketiadaan realitas, sepwrti yang terdapat pada ilmu sihir (sorcery). Keempat, citra tidak berkaitan dengan realitas apa pun, disebabkan citra merupakan simulakrum dirinya sendiri (pure simulacrum), yang prosesnya disebut simulasi. Dalam hal ini, sebuah tanda [A] tidak berkaitan dengan realitas apa pun [ ] diluar dirinya, oleh karena ia merupakan salinan (copy) dari dirinya sendiri pure simulacrum.
           
2.1.2    Kontribusi Semiotika Terhadap Studi Ilmu-ilmu Agama
            Semiotika bukanlah istilah yang baru, sebab dari asal katanya semion, kata Yunani yang berarti tanda, terlihat bahwa istilah semiotika telah digunakan sejak zaman Yunani Kuno. Akan tetapi, sebagai suatu cabang keilmuan, semiotika baru berkembang pada tahun 1990-an. Meskipun demikian, hingga kini masih diperbincangkan masalah-masalah epistemologis, berkaitan dengan landasan teoritis, cakupan dan batas-batas keilmuan, termasuk pertanyaan tentang kontribusi semiotika terhadap cabang-cabang keilmuan lain.
            Walaupun definisi semiotika yang dikemukakan Ferdinand de Saussure di dalam Course in General Linguistics sebagai “ cabang keilmuan yang mempelajari tentang penggunaan tanda di dalam masyarakat” telah diterima secaraluas, namun masih saja diperdebatkan tentang intervensi semiotika terhadap cabang keilmuan lain. Pertanyaannya adalah, apakah semiotika melingkupi segala bentuk penggunaan tanda, segala bentuk komunikasi, serta segala subjek yang terlibat didalamnya. Setidaknya terdapat lima subjek dalam berbagai rantai komunikasi, yaitu: manusia, makluk lain, alam, benda (mesin), Tuhan. Hubungan antar manusia telah banyak dikaji melalui semiotika umum. Hubungan komunikasi antara fauna dikaji secara khusus melalui  zoosemiotics. Komunikasi antara manusia dengan computer dikaji melalu semiotika formal. Namun, apakah fenomena komunikasi antara manusia dan jin merupakan fenomena simeotika.begitu juga komunikasi manusia dengan Tuhan.
            Selain itu, sebagai suatu cabang keilmuan tentang tanda, apakah semiotika melingkupi segala jenis dan tanda mulai dari ekpresi muka, cara beribadat, upacara ritual, matahari terbenam, sampai dengan cat kuku, film, makanan, iklan dan seterusnya. Ilmu kedokteran misalnya, berupaya menghubungkan antara gejala (symptom) sebagai satu tanda dengan penyakit tertentu. Meteorologi, membaca kondisi cuaca sebagai tanda untuk mengetahui perubahan cuaca. Ilmu ekonomi membaca struktur dan kondisi pasar sebagi suatu tanda untuk mengetahui trend pasar. Bila semua jenis tanda ini menjadi cakupan semiotika, menjadi satu pertanyaan, sampai sejauh mana semiotika dapat merambah ke dalam cabang-cabang keilmuan yang lain.
            Permasalah ini perlu dikemukakan di sini, dalam rangka melatar belakangi pertanyaan tentang kontribusi semiotika terhadap ilmu-ilmu agama. Alas an abgi pertanyaan ini adalah : bahwa iklmu-ilmu agama sendiri bila ingin disoroti fenomena semiotika dan komunikasi di dalamnya setidaknya mengandung di dalamnya rantai-rantai komuniukasi horizontal antara manusia dengan manusia (hablun-minannas), manusia dengan alam (adab terhadap alam), mausia dengan makhluk lain, rantai komunikasi vertical manusia dengan Tuhan (hablun-minallah).
            Menanggapi pernyataan tentang tapal batas keilmuan tersebut di atas, beberapa ahli semiotika seperti Umberto Eco, Roland Barthes, Coward dan Ellis, tampaknya bersepakat tentang suatu hal bahwa apa pun bentuk tanda yang digunakan, siapapun subjek yang terlibat, selama ia digunakan dalam satu system pertandaan dan komunikasi, serta berlandaskan pada kesepakatan sosial (konvensi, kode) tertentu, dengan asumsi makna tertentu, maka ia merupakan fenomena semiotika. Hal ini juga berlaqku pada proses pertandaan dan komunikasi di dalam ilmu-ilmu agama. Dikotomi semiotika antara signifikansi dan signifiance, sekaligus menggambarkan dikotomi antara langue dan parole, dan pada tingkat filosofis antara paham idealisme dan matrealisme. Ada kecendrungan pada wacana bahasa di Barat untuk melihat dikotomi ini sebagai layaknya pilihan multiple choice yakni memilih satu kutub ekstrim. Misalnya, demi menjunjung tinggi kreativitas dalam bahasa, maka segala bentuk konvensi dank ode-kode social diabaikan dan didekontruksi, sehingga berkembanglah produksi tanda secara anarkis (lihat fenomena film, televisi, video klip).
            Islam, seperti yang dapat dibuktikan tidak melihat dua hal yang bersebrangan ini sebagai suatu dikotomi atau oposisi biner seperti pilihan ganda, melainkan dua hal yang berkaitan secara hierarkis saja. Pada tingkat hirarki yang tertinggi, ada makna-makna transendensi yang wajib diterima dan diyakini, sedangkan pada tingkat yang lebih rendah, ada makna-makna yang bias diproduksi secara kreatif. Islam melihat dua hal ini sebagai sesuatu yang dapat dipadukan dan saling mengisi dengan harmonis.


2.1.3    Azan Magrib
“Allahu Akbar, Allahu Akbar (2x)
Asyhadu anla ilaha aillallah (2x)
Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah (2x)
Hayya ‘alash shalah (2x)
Hayya ‘alal falah (2x)
Allahu Akbar, Allahu Akbar (2x)
La ilaha illallah!” (1x)

            Orang Islam tentu sudah sangat familier dengan untaian kalimat di atas. Itulah azan. Setiap hari kita mendengarnya mengalun di masjid maupun di tayangan televisi. Lagunya khas dan merdu. Liriknya menggugah rasa. Kalimat itu sudah “ditiupkan” ke tekinga kanan kita sejak baru lahir. Dalam tradisi sebagaian umat, kalimat itu bahkan “diperdengarkan” pada tubuh yang sudah kaku berbalut kain putih di liang kubur.
            Simbol (syi’ar) kebesaran Islam itu kita harapkan terus berkumandang di udara. Selalu lekat di haqti. Terus menyertai langkah umat menaempuh hari depan yang semakin penuh rintangan dan tantangan. Secara logika, selama umat Islam masih ada dan bangunan masjid masih tegak, azan akan tetap berkumandang. Akan tetapi, prediksi logika tersebut bukanklah jaminan. Sebab, sekarang kita hidup di dalam zaman yang sudah di kuasai oleh teknologi informatika (TI).
            Berada di bawah “penjajahan” TI seperti kita rasakan saat ini, kita sebagai yang terjajah, dibuat hidup seperti di taman surga. Segala sesuatu yang kita mau tinggal sebut, atau pijit tombol semua tersedia dalam waktu singkat. Tetapi bersamaan dengan itu, pada umumnya kita tidak menyadari, ia menggerogoti bareang-barang berharga milik kita. Misalnya, yang sudah ketahuan moral (akhlak). Manakala kita tidak merasa kehilangan, berarti mentalitas keagamaan kita pun mulai terkikis.
            Dalam ketidak berdayaan membendung arus invasi TI keseluruh wilayah kehidupan kita, satu-satunya jalan untuk memastikan azan tetap dan terus berkumandang adalah dengan menambah daya tahan azan. Bukan dengan menyuntikan obat kuat pada azan, karena dari segi teksnya tiada permasalahan. Titik kritisnya justru terletak pada pemakaian (umat), yaitu bagaimana umat memandang azan dan menempatkan di hati pada posisi yang tepat. Ini jelas bukan masalah tunggal sebab, “memandang” di sini bukan hanya melihat dengan mata kepala, melainkan juga melibatkan ketajaman mata pikiran dan hati. Untuk menepatkan azan pada posisi yang tepat, semua mata itu harus membukakan jalannya.
            Menurut suatu hadis shahih diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Abu Hurairah, apabila terdengar suara azan, syertan lari sembari kentut dengan keras, sehingga azan tak terdengar. Bisa saja kentut syetan itu, yang selama ini banyak berupa tayangan sinetron televisi di waktu azan dan sejenisnya, suatu saat menjelma dalam bentuk seruan dari kembaga HAM. Tetapi hal seperti ini hanya cukup di waspadai saja. Kita tidak boleh berpikir the enemy is out there, musuh berada diluar sana, yang sudah menjadi suatu budaya kita. Tenaga kita sangat diperlukan untuk focus terhadap perbaikan diri. Karena, titik kritis kita sudah jelas, bagaimana kita memandang azan dan menempatkannyadi hati pada posisi yang tepat.
            Betapa azan berperan besar sebagai pengungkit yang dapat menciptakan perubahan besar. Shalat berjamah terdongkrak dan melalui terciptanya keseimbangan keadaan banyak berubah kearah yang lebih baik. Itu tidak terlepas dari masuknya  hayya a’lal falah sebagai panggilan, sehingga setiap usaha memenuhi panggilan itu mengikuti prinsip ekonomi, yaitu hasil besar bukanlah berasal dari upaya bersekala besar, melainkan dari tindakan-tindakan kecil tertapi terfokus dengan baik.

2.2       

Duta Tv Banjarmasin


Duta TV sebagai salah satu televisi lokal ternama di Kalimantan kini selalu hadir dengan memperluas jaringan daya siar dan pola siaran yang berkualitas. Didukung pemancar, studio dan teknologi broadcast, Duta TV menjadi satu-satunya televisi lokal yang kini memiliki ijin siaran tetap dari Menteri Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia dan diakui Komisi Penyediaan Transport.


Beberapa keunggulan Duta TV Banjarmasin :


- Menyuguhkan berbagai program, acara, Duta TV sangat konsen sebagai televisi lokal news, agar menjadi trend setter masyarakat yang membutuhkan informasi yang cepat dan akurat agar akurat, bertanggung jawab dan selalu menginspirasi banua.


- Bersiaran di kanal 44 UHF, daya jangkau siaran Duta TV tidak hanya berada di Kota Banjarmasin, tetapi kota Banjarbaru, kabupaten Banjar, kabupaten Barito kuala, kab. Tapin dan Kawasan Banua Anam, kabupaten Tanah Laut, kabupaten Tanah Bumbu hingga Kapuas dan Pulang Pisau dari Kalimantan Tengah.


- Didukung sumber daya manusia yang ahli di bidangnya, sejumlah program unggulan tertuang dalam bentuk news bulletin dan news magazine yang penggarapannya 80 persen mengusung hasil produksi anak banua asli, sebagai karya in house program. Pola siaran yang mengutamakan konten lokal dan budaya Banjar, membuat tayangan-tayangan Duta TV, kian mudah diterima khalayak pemirsa.


- Unggul teknologi dan sumber daya manusia dalam menyuguhkan siaran dan tayangan televisi lokal yang berkualitas, membuat Duta TV menjadi sarana yang pas bagi anda untuk bermitra, baik untuk berpromosi maupun aktualisasi diri.





2.3       Kerangka Berpikir


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1       Pendekatan Penelitian
            Penulis menggunakan Metode Penelitian Kualitatif, yang mana dalam memperoleh informasi penuli satau peneliti harus terjun langsung kelapangan untuk mengetahui kondisi daerah penelitian. Penelitian Kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati. Bog dan Taylor (1992: 21-22) .

3.2       Tipe Penelitian
            Tipe penelitian yang digunakan adalah Deskriptif Kualitatif yang mengkaji dan menggambarkan rincian tentang sesuatu yang terjadi pada suatu kegiatan atau situasi tertentu.

3.3       Lokasi Penelitian
            Penelitian dilakukan di kabupaten Tanah Laut tepatnya di Kelurahan Angsau. Tempat ini  dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa lokasi ini memang tepat untuk dilakukan sebuah penelitian tentang nilai-nilai keislaman pada tayangan azan magrib. Hal ini dianggap menarik perhatian, oleh karena itu penulis memilih daerah tersebut sebagai tempat penelitian.

3.4       Teknik Pengumpulan Data
            Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data antara lain :
3.4.1        Pengamatan Langsung (Observasi)
Pengamatan langsung (observasi) ini dilakukan dengan cara mengamati langsung terhadap objek yang akan diteliti, tujuan dari pengamatan langsung ini adalah untuk memperoleh data tentang nilai-nilai tayangan Azan Magrib pada televisi  lokal Duta Tv Banjarmasin.
3.4.2        Wawancara
Wawancara merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan jalan mengadakan komunikasi dengan sumber data. Komunikasi tersebut dilakukan dengan dialog ( Tanya jawab ) secaralisan, baik langsung maupun tidak langsung ( I. Djumhurdan Muh.Surya,1985 ).
Wawancara ini dilakukan secara terstruktur, yaitu seluruh pertanyaan sudah ditentukan sebelumnya sesuai tujuan penulis yaitu untuk mengetahui tentang efektifitas tayangan azan magrib terhadap kesadaran melakukan ibadah dan kesinambungan antara tayangan azan magrib dengan nilai-nilai keislaman.
3.4.3    Dokumentasi
Dokumentasi digunakan untuk mengamati dan mencari tahu informasi tentang nilai-nilai keislaman pada tayangan Azan Magrib pada televisi lokal Duta Tv Banjarmasin.

3.5      Teknik Analisa Data
3.5.1        Reduksi Data
Dalam mereduksi data, data-data yang didapat dalam penelitian akan dipilih dan dirangkum. Hal ini bertujuan untuk memusatkan perhatian pada data-data tersebut.
3.5.2        Penyajian Data
Data yang telah dikumpulkan disajikan dengan terorganisasi sehingga akan lebih mudah di pahami.
3.5.3        Verifikasi
Dalam tahap ini, data yang telah dikumpulkan dan terorganisasi sehingga akan lebih mudah dipahami akan ditarik kesimpulan dan dilakukan verifikasi.




 DAFTAR PUSTAKA

Arbain, Taufik. 2009. Pedoman Penulisan Skripsi. Banjarmasin : Pustaka Banua Banjarmasin
Ruslan, Rosady. 2010. Metode Penelitian PR dan Komunikasi. Jakarta : Rajawali Pers
Sarman, Mukhtar. 2004. Pengantar Metodologi Penelitian Sosial. Banjarmasin: Pustaka FISIP Unlam
Art, Van Zoes. 1996. Serba Serbi Semiotika. Jakarta : PT. Gramedia Pusaka
Sachri, A. 1987. Seni Desain dan Teknologi. Bandung : Nova
Ecco, Umbreto. 1980. The Theory Semiotics. London : Indiana Univercity Press. Bloomington

Referensi Website :
www.eramuslim.com/syariah/quran-sunnah/mukjizat-adzan desember 17. 2012
www.kisahislam.com/kisah-nyata/65-terpikat-suara-adzan-tatiana-pilih-islam desember 17 . 2012
www.anakbayi.com/blog-entry/menagis-langsung-diam-begitu-mendengar-suara-adzan desember 17 . 2012


  











  


Tidak ada komentar: